Aku, Kamu, dan Keegoisanku
Aku memiliki kecenderungan untuk diam, bahkan saat sangat
mengenal seseorang. Kecenderungan itu lebih kurasakan karena merasa nyaman
dengan orang tersebut. Tapi tiba-tiba saja orang tersebut hilang. Apakah
salahku karena diam? atau bagaimana? apakah salah diam karena nyaman? apakah
selalu harus dinyatakan? tapi sebenarnya aku sendiri tak ingin orang tersebut
menjauh dan menghilang. Semacam aku butuh orang yang tidak menyerah akan
ke-diam-an ku ini. Aku berharap kamu tidak akan menyerah.
Pertama kita tidak saling kenal, walaupun kita tak saling
mengabaikan satu sama lain, kita juga tak saling merasa membutuhkan satu sama lain. Pertama juga kita tak saling menyapa, tak saling
senyum saat papas-an bertemu. Hanya berlalu begitu saja seakan tidak terjadi
apa-apa. Tapi saat itu, ditahun terakhir kita satu sekolah, ada yang berbeda.
Kita dipertemukan untuk saling meyapa, untuk mencari satu sama lain, ya
meskipun hal tersebut karena keperluan akademik. Tapi entah mengapa aku
bersyukur. Bahkan sampai saat ini aku bersyukur. Karena telah diberikan
kesempatan untuk mengenalmu.
Semenjak itu, hubungan ini kurasa semakin dekat, bahkan
ketika kita sama-sama meninggalkan tahun terakhir dan memilih jalan kehidupan
masing-masing. Kamu mengejar mimpimu, dan aku mencari kejelasan atas
ketidakjelasan nasibku. Tuhan mengirimkanmu jauh dariku, tapi entah mengapaa
saat itu komunikasi kita lancar, bahkan saat itu belum ada teknologi seperti
line ataupun whatsapp yang semakin mendekatkan yang jauh. Bahkan aku ingat saat
itu kita saling sapa hanya via sms, ah iya, kita bahkan tidak pernah menelpon satu
sama lain. Hanya sebatas pesan. Tapi aku merasa nyaman, aku terus saja
menghubungimu, tentang apa saja yang kulakukan disini, tentang kegelisahanku,
tentang kabarmu, tentang apa saja yang kamu lakukan disana.
Tapi entah mengapa pesan itu semakin lama semakin berkurang,
entah kenapa. Saat itu aku berharap kamu yang lebih sering menghubungiku, ya
mungkin egois, tapi saat itu ada perasaan lelah untuk menghubungimu terlebih
dahulu terus-terusan. Ya, belakangan ini aku tau kalau hal itu disebut gengsi.
Tapi tidak salahkan? atau salah? entahlah, yang kutau hal itu mengurangi
komunikasi kita, dan saat nomormu hilang dan aku belum memiliki teknologi lain
untuk menghubungimu, kita terpisah. Oleh jarak dan keadaan. Oleh gengsi dan
perasaan. Oleh kegelisahan tapi tanpa kepedulian. Entah megapa saat itu aku
menganggap kalau kamu tidak menghubungiku artinya aku tidak berarti apa-apa
untukmu. Aku masih menerka nerka apakah hal itu benar atau tidak hingga
sekarang ini.
Hingga kamu mengumumkan dimedia sosialmu jika kamu mengganti
nomormu. Saat itu aku langsung menghubungimu. Entah tapi ada rasa rindu. Tapi
kita menjadi canggung. Ah aku benci hal ini. Canggung yang merusak keadaan,
kenyamanan. Bahkan sampai saat itu kita belum pernah telponan sama sekali. Aku
yang menunggu, aku tidak melakukan apapun untuk terus keep in touch denganmu.
Egois mungkin, tapi aku benar-benar ingin mengetahui sejauh mana kita. Sejauh
mana kamu ingin tahu tentang keadaanku. Entahlah, kelamaan tidak kamu hubungi,
ada rasa menyerah dihati ini dan mengatakan untuk berhenti. Tanpa disadari aku
berhenti. Sekarang aku menyadari kebodohan itu, maaf karena pernah memiliki
rasa menyerah untuk mempertahankanmu. Maaf karena aku berhenti dan lelah. Maaf
karena tidak berjuang lebih keras untuk tidak lelah.
Aku tetap menyimpan nomormu, tapi tidak aku apa-apakan.
Bahkan pernah hingga lupa bahwa aku memiliki nomormu. Hingga aku memiliki
handphone yang lebih canggih dan teknologi yang dapat “mendekatkan yang jauh
dan menjauhkan yang dekat”, itu sih kata orang. Saat itu akunku langsung
menambahkanmu secara otomatis sebagai teman karena aku menyimpan nomormu di
kartu operatorku. Ah senangnya, entah kenapa aku merasa senang. Tidak lagi
sulit untuk menghubungimu. Saat itu aku menyapamu duluan. Lagi setelah beberapa
lama. Hampir dua tahun jika dihitung-hitung.
Aku kira semuanya bakal lancar saat kita bertemu didunia
maya, tetapi ternyata tidak juga. Ah itu dia, aku merasa nyaman dengan
ke-diam-an ku, meskipun aku khawatir dan gelisah. Tapi aku merasa butuh kamu
yang menghubungiku duluan. Setidaknya sekali saja, tapi tak kunjung waktu itu
datang. Hingga satu saat, dimana hari itu aku sangat sedih dan ingin rasanya
menghubungimu terlebih dahulu, tapi kuurungkan niatku itu, karena aku takut,
dan aku tidak ingin menganggap diriku sendiri menghubungimu jika aku
membutuhkanmu saja dan jika aku sedih saja. Jadi aku memutuskan untuk tidak
menghubungimu.
Sebelum hari itu, sudah tiga tahun rasanya, aku harus
menunggu selama itu untuk kamu yang menghubungiku terlebih dahulu. Meskipun
pesan pertamamu tidak begitu penting hanya menyebarkan iklan yang ternyata
hoax. Tapi isi pesan itu tidak apa-apa. Yang penting adalah kamu yang
menghubungiku duluan. Setelah sekian lamanya. Entah mengapa hari itu aku sangat
bahagia, seakan pintu menuju dirimu terbuka kembali. Dan dapat dibilang timing
datangmu tepat. Entah ini adalah sebagai hiburan disaat sedihku atau bagaimana,
jika difikirkan terus, aku menganggap ini takdir, yang telah membawamu,
membawaku, membawa kita kejalan untuk berkomukasi lagi.
Pertemuan pertama setelah sekian lama itu membangkitkan
kembali ingatan-ingatanku tentangmu. Seperti bangkit dari kubur saja
sebenarnya. Tapi kali ini aku merasa harus memperjuangkanmu. Entahlah, mungkin
aku kesepian dan kamu datang disaat aku membutuhkan pegangan dan sandaran ?
Tapi jika begitu aku jahat sekali ya? Entahlah. Tapi kan memang bukankah semua
orang membutuhkan sandaran? Tempat bercerita? menghabiskan waktu bersama? menua
bersama? ah entahlah.
Aku orangnya sebenarnya tidak terlalu bisa fokus, tapi entah
kenapa hati ini meminta untuk memusatkan perhatian ke kamu. Entahlah. Sebenarnya tidak
terlalu yakin karena mengingat kamu jarang menghubungiku duluan. Tapi ada bisikan
jangan meninggikan gengsi, dan jangan terlalu ego. Coba saja dulu. Hubungi
duluan juga tidak salah, kan? Lalu aku mencoba semua peluang antara kamu dan
aku. Dan mulai berkhayal andaikan saja kita bertemu, tidak dipisahkan oleh
laut. Andaikan aku pulang dan bertemu denganmu. Ah pemikiran dan khayalanku
semakin menggila karena kamu menghubungiku duluan. Padahal hanya sekali. Ya tapi
sekali itu yang sangat kubutuhkan. Sekali yang menandakan kamu tidak menyerah
tentangku, sekali yang menandakan kamu masih ingat tentangku. Andaikan sekali itu
terus kamu lakukan. hmm, entahlah, aku tidak dapat menuntutmu melakukan hal itu terus-terusan. Toh aku bukanlah siapa-siapa, punya hak apa aku? Tidak ada.
Tapi aku sangat bahagia. Dan benar-benar menekankan egoku
untuk berharap kamu akan menghubungiku duluan setiap saat. Ya aku tau kamu
sibuk, dan bahkan terkadang kamu hanya membaca pesanku. Hanya dibaca dan sudah.
Huft, terkadang sebel dan kecewa sebenernya. Tapi aku ingin mempertahankanmu, aku ingin
tidak menyerah tentang kamu. Aku ingin bersamamu. Entahlah, sudah tiga tahun
kita berhubungan seperti ini, tapi aku tidak apa-apa. Ya sebenarnya sedikit
apa-apa sih. Tapi aku tidak masalah, yang ingin ku fokuskan adalah tidak
menyerah tentang kamu. Seakan-akan aku ingin berjuang untuk bersamamu, untuk
tetap ada disisimu dan tidak hilang lagi. Aku tidak mengharapkan lebih darimu,
hanya ingin kamu juga tidak menyerah tentangku, tentang seluruh sifatku,
tentang semua tentangku. Entah ini terdengar egois atau tidak. Tapi aku
berharap kamu dengan kesadaranmu sendiri dapat berbuat seperti itu, saling
mengingatkan, saling mendoakan, saling lancar berkomunikasi, saling mempertahankan.
Aku tak bisa bertahan jika berjuang sendiri, aku butuh kamu untuk sama-sama
berjuang. Aku berharap aku bisa menghilangkan rasa nyaman dalam ke-diam-an ku,
yang sebenarnya rasanya tidak nyaman. Kamu membantuku membuka dan menemukan
jalan siapa sebenarnya diriku sendiri. Bisakah kita menua bersama?
Komentar
Posting Komentar