Pengorbanan dan Mengikhlaskan
Nama kamu selalu ada didalam setiap doaku. Aku, tidak berharap namaku
ada dalam doamu saat ini. Namun aku mensemogakan suatu saat kita ada dalam satu
doa yang sama.
“Kamu tolong dong ngertiin aku, kamu tuh lebih mentingin
kerjaan kamu di banding aku, selalu seperti itu, mas”
“Sabar sayang, sebentar lagi juga selesai pekerjaannya”
“Satu minggu lalu kamu juga bilang kayak gitu mas, tapi apa
? sampai sekarang kamu gaada waktu buat aku, bahkan untuk ngabarin aku pun kamu
ndak bisa”
“ya nanti mas ....”
Tut tut tut tut tut
Sinta, nama itu yang lima tahun belakangan ini mengisi
hari-hariku, entah itu marah, perhatian, kesal, rindu, dan apapun dapat terjadi
antara kami. Hari ini terulang lagi, dia marah denganku yang lebih mengutamakan
pekerjaanku dibandingkan dia. Mau bagaimana lagi, kerjaan ini akan semakin
menumpuk jika tidak diselesaikan. Tapi, yang membuat aku sedih adalah, saat dia
menelpon tadi, aku mendengar suaranya bergetar, seperti menahan tangisan. Aku
benci melihatnya menangis. Sabar ya sinta, aku akan menyelesaikan pekerjaan
ini, segera.
***
“Nduk, gimana nak Pras ? bisa kerumah ndak waktu kumpul
keluarga?”
“Maaf buk, mas Pras belum bisa dihubungi lagi, masih banyak
kerjaan”
“Walaahhhh, sibuk banget tho nak Pras, iki genting banget
lho nduk, kamu tau kan bapak mau menikahkan kamu dengan anaknya bu Trini kalau
bapak ndak ketemu mas mu itu sampai akhir minggu ini”
“Nggih bu, sinta ngerti, nanti sinta ngomong lagi sama mas
Pras”
“Secepetnya lho nduk, kamu tau sendiri bapak seperti apa,
untung bapak mau menunggu Pras, umur kamu juga sudah 27 tahun, wajar kalau ibuk
sama bapak khawatir”
Terdiam, menunduk, hanya itu yang dapat aku lakukan saat ibu
menanyakan aku tentang mas Pras. Sebenarnya aku dan mas Pras sudah lima tahun
menjalin hubungan, mas Pras juga sudah beberapa kali datang kerumah menemui
bapak dan ibu, namun hanya untuk main, menyanyakan kabar, belum sampai
membicarakan pernikahan. Sudah lima tahun, jangan tanyakan seberapa aku sangat
mencintainya. Namun, terkadang aku tidak suka kebiasaannya yang tidak
mengabariku saat sibuk dengan pekerjaannya. Mas Pras itu orangnya pekerja
keras, ndak bisa lepas kalau lagi sama kerjaan.
Terkadang aku merasa bukan
menjadi prioritasnya. Kesel sih, tapi udah sayang, mau gimana lagi.
Kalau lagi kesel sama mas Pras aku bakal nangis, sebentar
saja untuk membuat hatiku sedikit lega. Namun setelah itu aku akan mengingat
masa-masa indah bersama mas Pras. Sebenarnya, tidak bertemu dengannya sehari
saja sudah membuatku sangat merindukannya, terlebih saat ini. Sudah tiga bulan
belakangan ini mas Pras sering keluar kota karna pekerjaannya. Imbasnya di aku,
sering ditinggal, bahkan paling lama bisa tidak bertemu satu bulan.
Pernah suatu saat dia mau pergi seminggu ke Bali untuk
pekerjaannya. Aku meminta ikut, setelah pekerjaannya selesai kan kami bisa
liburan, berduaan saja. Aku bisa mengambil cuti dari pekerjaanku, toh aku juga
sudah sedikit bosan dengan suasana yang itu-itu saja. Tapi usulku itu ditolak
keras sama mas Pras. “Ini pekerjaan sayang, nanti mas malah gak konsen kalau
ada Sinta” Alasannya sih gitu.
Sampai malam aku mencoba menghubungi mas Pras, namun tidak
ada jawaban, ah mungkin pekerjaannya memang lagi banyak sekali. Malam ini
hujan, tidak terlalu deras, tidak terlalu berangin. Hujan yang tenang. Aku merasakan
hawa kamarku dingin, menggigil, tapi badanku panas, ah paling Cuma demam
sebentar. Aku memutuskan untuk istirahat, tidur, semoga kesedihan hari ini diangkat
oleh Tuhan esok pagi.
***
“nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, cobalah sesaat
lagi”
Sepuluh kali aku mencoba menghubung Sinta pagi ini, tidak
ada jawaban. Padahal tiga hari kedepan aku akan kepulau sebarang yang tidak ada
sinyal. Aku mencoba lagi, dua puluh
kali. Kemana perginya Sinta ? ah paling belum bangun. Jam tanganku menunjukkan
angka 04.45. Aku harus menuju dermaga pukul lima. Sebenarnya tak tega aku
meninggalkan Sinta jauh disana, tapi toh ini untuk masa depan kami berdua,
tabunganku sedikit lagi cukup untuk membeli rumah dan melakukan resepsi
pernikahan dengannya, Sinta. Tunggu mas sedikit lagi ya.
***
Mataku sedikit berat untuk dibuka, ah kenapa ini, tubuhku
terasa terbakar. Lalu aku tidak ingat
apa-apa.
“Sinta, kamu udah bangun, nak ?”
“Buk, kita dimana ?”
“Kita dirumah sakit Nduk, sudah tiga hari kamu terbaring disini,
gimana sudah enakan?”
“Alhamdulillah buk, hp Sinta mana ya buk?”
“Ada ibu simpen, kenapa? Kamu mau nyariin nak Pras? Ndak usah,
bahkan selama kamu sakit saja nak Pras ndak ada ngubungin kamu nduk. Ndak usah
dicariin”
“Mungkin mas pras lagi sibuk buk, atau lagi ndak ada sinyal”
“Lha wong pacare sakit kok de e ndak mau tau, ndak nanya
lagi, sudah lah nduk, ibu lebih setuju kamu sama anaknya bu Trini, seperti kata
bapak”
Lagi, sekarang hatiku terbakar. Aku tidak pernah marah mas
Pras memilih pekerjaannya dibandingkan aku. Bahkan, aku sangat bahagia dia
menemukan pekerjaan terbaik baginya. Namun, rasanya, aku telah kehilangan
dirinya. Bagaimana dia tidak menanyakanku seharipun ? kamu dimana, mas?
***
Bahkan di bukit tertinggipun tidak ada sinyal disini. Huft. Bosku
memperpanjang jam kerjaku disini, dua hari lagi. Bagaimana aku menghubungi
Sinta? Ah, semoga dia baik-baik saja disana. Pasti dia baik-baik saja, pasti
dia mengerti. Dua hari lagi terus aku akan pulang. Baiklah, sabar ya, Sinta. Nama
kamu selalu ada didalam setiap doaku. Aku, tidak berharap namaku ada dalam
doamu saat ini. Namun aku mensemogakan suatu saat kita ada dalam satu doa yang
sama. Ah, tidak berharap mungkin terlalu berlebihan. Pastilah beberapa kali aku
mengharapkannya, namun aku tidak mengatakannya padamu, belum, mungkin suatu
saat nanti.
***
“Sinta, kamu harus ikhlas, Ibu Bapak menikahkan kamu dengan
Putra demi kebaikan kamu, Nduk”
“Tapi mas Pras gimana buk? Sinta ndak mau melukai hati mas
Pras”
“Kamu hapus air mata kamu sekarang Sinta !”
“Pak, jangan keras-keras sama Sinta”
“Pras dan kamu memang sudah lama menjalin hubungan, tapi
apakah pras ada niatan serius dengan kamu ? Dia tidak pernah membicarakan
tentang pernikahan denganmu. Dan kamu masih saja menunggunya. Untuk apa kalau
dia tidak punya niatan serius ?”
“Sebentar lagi, pak. Kita tunggu kabar dari mas Pras ya pak?”
“Kurang lama apa? Lima hari dia tidak bisa dihubungi, Sinta.
Jangan-jangan pekerjaannya hanya dijadikan alibi”
“Pak....”
Ibu memelukku, Bapak menutup pintu kamar setengah membanting
“Buk, bantuin Sinta, sinta ndak mau nikah sama putra. Sinta sayang
sama mas Pras, buk. Mas Pras pasti balik kok”
“Ibu bisa bantu kalau nak Pras disini Nduk, tapi nak Pras
ndak ada”
Mas, kamu dimana sih ? Lima hari tanpa kabar. Sinta mohon
untuk kali ini saja, datang.
***
Akhirnya ada sinyal juga. Waduh, 200 misscall dari Sinta,
ada apa ?
“Halo, sayang”
“Mas...”
“Kenapa sayang ? kok nangis ?”
“Mas kemana aja ndak ada kabar lima hari terakhir”
“Maaf Sinta, mas ada pekerjaan dipulau sebrang yang gak ada
sinyal”
“Mas ndak tau betapa khawatirnya sinta disini”
“Maaf sayang”
“Mas ndak tau Sinta disini masuk rumah sakit, mas ndak tau
disini Sinta mau dinikahin”
Hening
“Jangan nangis sayang”
“Mas pulang sekarang, sita mau dinikahin ini sama Putra,
anak temennya Bapak”
Gak mungkin. Hening.
“Mas, jangan diem aja dong”
“Mas capek sayang, mau istirahat”
“Tapi ini beneran mas, Sinta mau dinikahin, satu-satunya
jalan pernikahan itu batal ya mas hadir disini, ketemu sama Bapak sama Ibu
Sinta”
“Gak bisa sayang, mas masih ada kerjaan disini”
“Kalau gitu, mas tinggal pilih, kerjaan mas atau Sinta”
“Bercandanya jangan berlebihan dong, mas lagi capek ini”
“Sinta gak berlebihan mas, Sinta beneran”
Hening. Paling ini lagi bercanda. Tapi Sinta nangis. Tapi gak
mungkin. Ini pasti bercanda.
“Yaudah, terserah Sinta, kalau Sinta mau nikah dengan Putra
ya silahkan”
“Mas....”
“Mas ikhlas kalau itu yang terbaik buat Sinta”
“Selamat tinggal, mas”
Tut tut tut tut..
Duh kok langsung dimatiin. Baiklah, besok aku bakal pulang. Sinta
tadi bercandanya kok gitu banget ya. Jadi kepikiran. Jangan-jangan karna dia
marah sama aku. Ah, gak papa, toh besok aku pulang, dan Sinta gak jadi marah
karna aku membawa cincin untuk melamarnya.
Hilang. Suatu keputusan yang kini sangat aku sesali.
Menganggap
perkataannya adalah bercanda. Dan akhirnya aku harus benar-benar mengikhlaskan.
Kamu tidak akan pernah tau pengorbanan seseorang yang
dilakukannya untukmu. Kita, sama-sama berkorban untuk mempertahankan saling
diantara kita. Namun, akhirnya kita harus sama-sama melepas. Maafkan aku yang
tidak mempercayai kata-katamu.
Ah, benar sekali kata pepatah lama, kepercayaan
adalah kunci suatu hubungan.
Aku tak pernah membenci karna mencintaimu
Aku tak pernah menyesal menghabiskan waktu denganmu
Aku hanya mengutuk diriku yang secara tidak langsung
mengizinkanmu menjadi masa laluku.
Selamat berbhagia, Sinta.
Komentar
Posting Komentar